Dua tonggak pillar kayu yang berdiri, terhempas ombak lautan, terkoyak sebagian, hingga ke tengah pusaran air

rintik air hujan menetes dari atas, gerimis pun jadi hujan yang besar

 

suara sayup2 bunga rumput pun terdengar

disekitar langit malam yang sunyi

 

dedaunan kelapa naik turun terhempas angin diantara mentari dan rembulan

berdiri kokoh disekitar dua tonggak pillar kayu yang masih berdiri

 

kadang angin berlari dalam mentari yang tersenyum

kadang awan tersenyum dalam langit senja

 

seakan alam semesta tersenyum dalam pillar kayu ini

dua pillar kayu yang akan bertambah, menjadi pijakan akan datang bercerita tentang senyuman

 

walaupun dedaunan kelapa naik turun terhempas angin diantara mentari dan rembulan

namun pohon kelapa tetap kokoh berdiri, mentari dan awan senja tersenyum

dan seakan alam semesta turut mengalunkan melody yang indah

 

saat dua pillar kayu terkoyak sebagian, gerimis pun menjadi hujan lebat

dalam kesunyian malam, memandang langit

dua pillar kayu yang terkoyak, menumbuhkan pillar2 baru yang tersambung

menjadi pijakan atas senyuman alam semesta

 

 

 

 

Tujuh kuncup mahkota

menemani ku mengarungi samudera dengan kapal kayu

kapal kayu dengan ruangan kayu dan pilar penyangga

membentang luas disekelilingku

 

tujuh kuncup mahkota

terbersit dalam kata pada enam pilar pennyangga sebelumnya

dan pilar-pilar itu tetap kokoh berdiri, tujuh kuncup mahkota hanya biji sesawi

 

pillar pilar yang tetap kuat dan kokoh berdiri dalam naungan langit biru yang luas

tiada terbatas oleh langit

 

samudera membuat kapal kayu ku kadang berlari kadang terhenti sesaat

namun tetap mengarungi dan kuarungi

dalam naungan langit biru yang telah tercipta

 

kapal kayu yang begitu kuat

telah ada dan tercipta untukku

semuanya dalam naungan langit biru yang tak terbatas

 

kutetap berdiri tersenyum dalam naungan langit biru

walaupun kadang angin datang terlalu dingin

namun kapal kayu yang kuat membuat ku tetap berdiri

dalam langit biru yang tak terbatas

 

tujuh mahkota akan tumbuh pada tujuh penjuru

dalam naungan langit biru bagai biji sesawi

tanpa membelah angin yang bergerak lembut

tanpa mengoyak air yang mengalir baik

 

Februari 07 th 2020

ditulis oleh Robert Handoyo S.

Februari 07th 2020

Flash back Puisi lama

 

Puisi lama sy yg menjadi pedoman hidup sy

 

Berdiri didepan tonggak arus air ditepian pepohonan rindang

berlayar dengan kapal bambu mengelilingi surga dunia

dengan tiga tangkai berwarna merah memandang langit

mengejar sinar mentari pagi hari

 

kira2 puisi ini terbersit dalam pikiran sy sekitar tahun 2001

 

 

Memandang Langit Malam

mencari bintang-bintang yang bersinar

di bawah pepohonan rindang

dan ada 7 tangkai tunas kelapa mengelilingi

 

menghela nafas panjang

serasa susana sama dengan 6 pillar kebelakang yang telah lalu

merasa angin sepoi sesekali menghampiri

dan menghela napas

di tengah kecapi yang bergetar lirih

 

sesaat kebelakang sebanyak satu rembulan

jalan membentang tegas kedepan

namun saat melangkah awan kelabu pun muncul menghadang

tegas menghempas kecapi sekali hingga terjatuh

 

Langit malam, kemanakah bintang berbicara

 

angin sepoi menghampiri, memberika kesejukan ditengah dedaunan yang berserakan

langit malam, kemanakah bintang berbicara

seakan hanya menantikan bintang yang bersinar terang

dan awan seakan terkuak oleh sinar nya

 

tujuh tunas kelapa yang mengelilingi, seakan dirajut 6 pilar kebelakang

namun jalan membentang yang tegas kedepan seakan terhempas awan kelabu

 

air yang begitu kuat pun rasanya terhempas, seakan tak mampu sementara waktu mengalir

seandainya langit terbuka, bintang bersinar terang, awan pun terlihat baik

 

Langit malam ini terlalu luas untuk ruang yang perlu berbicara,

seakan air mengalir dan menghantam benteng sehingga beriak

gelombangnya tak henti2nya bergetar didalam pintu air ingin mengalir dan membasahi semua

terlepas bebas di bawah naungan langit malam

 

bintang bersinar, kemanakan kau berbicara